Tuesday, December 15, 2015

Dasar Aktivitas Bisnis Menurut Perjanjian Baru


Artikel ini tentang doa, akan diubah sesuai judul: Dasar aktivitas bisnis menurut Perjanjian Baru (tunggu postingan berikut) Jemaat Kristen mula-mula di Yerusalem bertekun dalam pengajaran para rasul, bertekun dalam persekutuan, bertekun dalam perjamuan, dan juga bertekun dalam doa. Doa di sini dapat merujuk kepada doa selama berada di Bait Suci di mana para rasul berkhotbah dan yang dihadiri oleh jemaat (3;1; bnd. 2:16, 22, 17). Tetapi, bisa juga merujuk kepada tindakan berdoa di rumah mereka masing-masing (1:24; 4:24; 12:12). Dan tidak perlu diragukan, berdasarkan latar belakang keyahudian mereka, praktik doa mereka hampir bisa dipastikan sangat dipengaruhi oleh pengajaran mengenai doa dalam PL maupun tradisi doa dalam lingkungan Yahudi pada masa itu. Penggunaan bentuk jamak dari kata proseuch, dalam ayat ini, menurut Barrett, bukan hanya memperlihatkan bahwa mereka berdoa secara teratur melainkan juga mereka berdoa dengan menggunakan bentuk doa tertentu. Perihal mereka berdoa secara teratur, tentu tidak dapat disangkal. Peter T. O’Brien menyatakan bahwa kentalnya tema mengenai doa dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul seharusnya mendorong kita untuk melakukan studi yang sangat mendalam mengenai tema ini. O’Brien memperlihatkan sebuah statistik sederhana bahwa dari keseluruhan penggunaan istilah “doa” dalam PB yaitu sebanyak 86 kali, Lukas menggunakannya dalam dua volume tulisannya sebanyak 35 kali, belum termasuk penggunaan istilah lainnya yang juga merujuk kepada aktivitas berdoa. Tidak heran, dalam studinya yang sangat detail mengenai tema doa dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, Schreiner menyatakan bahwa kehidupan gereja mula-mula sangat ditandai dengan doa, bahkan doa merupakan salah satu tema mayor dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul. Talbert juga memperlihatkan komentar senada bahkan mengategorikan fungsi doa dalam tulisan Lukas menjadi tiga fungsi, yaitu: a. Sebagai sarana pengenalan akan kehendak, rencana, dan tujuan Allah (Luk. 3:21-22; 6:12-16; 9:18, 28; Kis. 10:1-8, 9-23; 11:5-17; 22:17-21); b. Sebagai sebuah sumber kuasa untuk memampukan seseorang melakukan kehendak Allah (Luk. 4;18-21; 22:39-46; Kis. 1:14; 2:1-4; 4:29-31); dan c. Sebagai sebuah katalisator bagi Allah untuk menggenapkan kehendak atau tujuan-Nya (Luk. 11:2-4; 18:1-8; 22:31-32; Kis. 8:15; 9:40; 12:5, 6-11, 12, 13-17). Tidak terlalu jelas, namun rujukan mengenai doa dalam Kisah 2:42 dapat saja mencakup tiga fungsi yang didaftarkan Talbert di atas. Intinya, seperti yang dikemukakan oleh O’Brien dalam studinya yang detail mengenai signifikansi doa dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, tema doa dalam tulisan Lukas berhubungan erat dengan sejarah penebusan (redemptive history) di mana melalui doa, umat-Nya mendapatkan arahan serta kuasa untuk menggenapkan rencana Allah yang bekerja melalui dan di dalam mereka. Meski demikian, bagian terakhir dari komentar Barrett di atas menarik untuk dianalisis secara ringkas. Apakah “bentuk doa tertentu” yang dimaksud tercakup di dalamnya penggunaan doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus? Kelihatannya kita tidak dapat memberikan jawaban afirmatif untuk pertanyaan ini. Kita memang mengetahui bahwa dalam konteks Kekristenan abad kedua, doa Bapa Kami digunakan secara teratur dalam doa pribadi maupun dalam doa komunal. Bahkan dalam Didache 8:2-3, dianjurkan agar Doa Bapa Kami digunakan minimal tiga kali sehari. Namun, sekali lagi, kita tidak dapat memastikan apakah kehidupan doa yang sangat mendominasi spiritualitas gereja mula-mula, seperti yang terdapat rujukannya dalam Kisah 2:42, di dalamnya terdapat penggunaan Doa Bapa Kami secara regular atau tidak.

0 comments:

Post a Comment